Bandung Night Hitchhiking Race

[4-6 Mei 2012]

Saat pertama ditawari ikutan acara ini, saya sama sekali tidak perlu berpikir dua kali untuk menjawab mantab,”Oke, Im in!”. Tidak pula sempat berpikir nanti acaranya bakal garing atau bagaimana, kalau sampai tidak dapat tumpangan bagaimana, kalau dapat tumpangan tapi yang punya kendaraan ternyata psycho bagaimana. Dan ‘bagaimana-bagaimana’ lain yang akan melunturkan niat mantab saya. Sama sekali tidak. Bahkan saking antusiasnya saya saat itu, sampai-sampai saya punya bayangan setinggi Burj Khalifa kalau acara ini bakal sekeren The Amazing Race Asia atau apa. Keren, menantang, dan penuh aura petualangan. Tentu saja.

Jadi pada dasarnya, hitchiking adalah semacam cara traveling yang murah meriah, atau bahkan gratis. Khususnya dalam hal transportasi. Caranya? Nebeng. Dengan muka tebal, kita cukup berdiri di pinggir jalan dan mengacungkan jempol ke kendaraan-kendaraan yang lewat. Seems so simple? Bisa jadi. Tapi bisa juga menguras kesabaran dan emosi jika tidak kunjung dapat tumpangan.

Back to topic. Singkat cerita, hari H itu pun tiba. Entah datangnya dari mana, tiba-tiba saya digelayuti rasa malas yang teramat sangat untuk ikutan acara ini. Ya seperti biasanya, saya mendadak labil. Tapi karena tidak enak hati sama teman saya, Dyan yang sudah semangat ngajakin [persisnya sih, takut disembelih gara-gara suka meng-cancel ikutan acara ini-itu di menit-menit terakhir], ya sudahlah, walau dengan langkah berat saya akhirnya berangkat juga menuju meeting point di Plasa Arion, Jakarta, untuk bergabung dengan peserta lainnya.

Nah, ternyata.., dalam taksi saat perjalanan Bekasi-Arion itu keluarlah pengakuan dari Dyan kalau sebenarnya dia juga malas untuk ikutan acara ini. Kacrut, kan? Banget! Kenapa juga tidak bilang dari awal sebelum kita sama-sama sudah di dalam taksi begini.

Galau..

Bahkan saat sudah tiba di Plasa Arion pun. Alih-alih langsung bergabung dengan peserta lain, kita -plus Rian yang baru datang- malah memilih ‘mojok’ di McD. Labil berjamaah dan [masih saja] membahas rencana kabur dari acara ini. Tentu saja dengan perasaan was-was takut ketahuan peserta lain. Atau malah kepergok panitia. Yang ada, bukannya berhasil melarikan diri malah bonyok ditoyor massal. Tapi ya begitulah, selabil-labilnya jiwa muda kita [?], tetap saja akhirnya memutuskan untuk ikut juga. Toh, mau pulang lagi juga sudah kepalang jauh. Jadi, kenapa tidak lanjut ‘kecebur’ saja sekalian.

Singkat cerita, bergabunglah kita dengan peserta-peserta lain. Kenalan, basa-basi sana-sini, grouping, briefing, bla bla bla.. Sebelum akhirnya menjelang tengah malam, dimulailah race yang [bagi seorang newbie seperti saya] seru sekaligus memacu adrenalin ini. Oke, maksud saya, menantang kita untuk senantiasa bermuka tembok menahan malu dan gengsi mengacungkan jempol pada setiap kendaraan yang lewat demi menggapai satu tujuan: dapat tumpangan.

Dalam hitchhiking race ini, start dimulai dari Plasa Arion, Jakarta dan finish di sebuah villa di daerah Lembang. Peserta sendiri dibagi per grup dan masing-masing grup terdiri dari tiga orang. Teman grup saya adalah Fitri, gadis entrepreneur dari Cikampek dan Wawan asal Depok. Bertiga, bahu-membahu kita berusaha ‘semanis’ mungkin mengacungkan jempol ke setiap kendaraan yang lewat. Awal usaha hitching ternyata lumayan susah. Tak satupun kendaraan yang kita mintai tumpangan mau berhenti. Sebagian menolak dengan halus, sebagian lainnya acuh. Mungkin, sebagian lagi mengira kita ini kumpulan orang-orang sakit jiwa [jujur, saya juga berpikir begitu]. Oke, tidak masalah.. Masih banyak waktu dan kesempatan. Toh, ini juga baru beberapa puluh menit. Belum sampai berjam-jam.

Kita pun tetap semangat mengacungkan jempol dan kertas putih bertuliskan tujuan hitching kita. Akhirnya, kesabaran dan ikhtiar kita dijawab dengan berhentinya beberapa pengendara motor. Untungnya mereka bukan rombongan geng motor yang mau mengeroyok kita. Tapi sekumpulan pemuda berhati malaikat yang mau memberi kita bertiga tumpangan gratis.

Yippie!

Kita turun di pintu tol Rawamangun. Mengucapkan banyak terimakasih ke rombongan pemuda-pemuda baik hati itu dan melanjutkan perjuangan. Kali ini kita berdiri tepat di pintu tol, tentu saja masih dengan senjata andalan: jempol, kertas berisi tulisan tujuan kita, dan senyum manis. Satu mobil lewat, dua mobil, tiga, empat.. sampai beberapa mobil melengos begitu saja. Tetap semangat. Sampai akhirnya ada seorang bapak paruh baya yang bersedia menghentikan mobilnya dan membolehkan kita nebeng. Alhamdulillah.. Dengan bapak ini, kita berhasil dapat tumpangan sampai rest area km19 di daerah Tambun, Bekasi.

Lanjut…

Masih di rest area, iseng gambling, [tanpa pasang senyum binal atau umbar aurat. Serius!] saya menghampiri mas-mas yang sedang isi bahan bakar di situ. Intinya sih masih sama lah ya, mau minta tebengan sampai ke Pasteur, Bandung. And you know what? Amazingly, bukannnya mikir panjang jangan-jangan kita ini komplotan penjahat keji atau menjawab,’Uhmm.. kasih tahu ga #eaa?’ dia malah menjawab spontan,’Oh, oke boleh. Kita juga mau lewat sana, kok.’

Cengok. Tapi tentu saja senang bukan main. Man.., bayangkan, hanya dengan sekali usaha, dan itu juga mudah sekali, kita sudah bisa dapat tumpangan sampai Pasteur. How could Im not to be grateful? Dalam hati saya berdoa, semoga orang-orang baik seperti mereka dimudahkan rejekinya dan dipanjangkan umurnya. Bukan apa-apa, kalau tidak ada orang baik seperti mereka, lalu siapa lagi yang mau memberi tumpangan pada para pejalan ‘kere’ seperti kita? Lol.

Kepagian..
Ya, saya juga tidak pernah menduga sebelumnya. Grup kita, yang juga berisi newbie ini malah tiba di pitstop pertama [Pasteur] di urutan kedua. Yang juga tidak saya duga adalah kenyataan bahwa grupnya Dyan berhasil sampai pertama, dan grupnya Rian tiba di urutan ketiga setelah saya. Tiga grup yang masing-masing berisikan newbie dudul ini, ternyata bisa tiba di urutan tiga besar pertama! Dan itu sebelum subuh..’Tisu, mana tisu?’

Tanpa mengesampingkan peran teman-teman tim, dengan ini saya jadi merasa bangga dengan diri saya sendiri. Ternyata saya bisa mengalahkan ketakutan-ketakutan yang sebenarnya tidak perlu itu. Dan ya, terutama mengalahkan rasa malu berdiri di pinggir jalan sambil mengacung-acungkan jempol berharap tumpangan.

Setelah rehat sejenak di [emperan] Circle K dan sholat subuh, kita melanjutkan petualangan ke spot terakhir, Lembang. Ternyata dewi Fortuna masih juga menaungi grup saya, tanpa perlu peras keringat, sebuah mobil box berhenti dan dengan sumringahnya meluncurlah kita bertiga ke Lembang… Tapi ya begitu, sampai Lembang yang ada kita malah ‘keleleran’ ga jelas karena belum bisa masuk villa -yang letaknya juga masih dirahasiakan panitia. Ya Tuhan, ribet sekali race ini -__-” – lantaran mesti menunggu grup yang lain sampai. Ngok… Untung saja ada teras kantor KUA. Iya, KUA, yang nganggur yang bisa dipakai tidur. Dan untung juga bapak-bapak pegawai KUA-nya baik hati membolehkan kita ‘mengotori’ kantor mereka.

Barulah, jam sebelas siang panitia membolehkan kita menuju villa dan memberikan clue [APAH LAGIH INIH?!] untuk bisa sampai di sana. Lagi-lagi, kita harus hitchhiking untuk menuju tempat tujuan. Nah, setelah sebelumnya berhasil mendapatkan tumpangan motor, mobil pribadi dan mobil boks. Kali ini giliran truk pasir yang kita dapat. Wow.. langsung berasa ibu-ibu buruh pemetik teh yang hendak di-drop ke kebun ga, sih? Iya, tepatnya ibu-ibu buruh yang rusuh. Bayangkan, bukannya bersikap manis pada yang punya truk. Yang ada kita malah menjadikan bak truk itu sebagai ajang foto narsis dengan segala jenis pose nista kita. Dan sang kenek, saya yakin dia cuma bisa beristighfar melihat tingkah jalang para penumpang gelap ini.

FINISH!
Akhirnya, setelah perjuangan demi perjuangan yang kita lalui, sampailah kita ke spot terakhir. Sebuah villa yang nyaman di kawasan Lembang, Bandung. Diputuskan tidak ada pemenang di sini. Begitu juga dengan hadiah. Lalu, apa kabarnya kompetisi? Iya, kita memang berkompetisi. Tapi berkompetisi dengan diri masing-masing. Berkompetisi dengan rasa takut dan rasa malu. Dan sebagai hadiahnya: hal seru, teman-teman baru dan senyum kebanggaan yang tersungging selalu.

Sesampainya di villa, kita sudah melupakan apa yang namanya rundown acaranya. Bebas. Rileks. Kita ngobrol, main kartu, nonton sinetron, karaoke ga jelas, berenang, menggalau, saling curcol. Apa pun. Intinya: let’s blend, make friend, say no to strangers, and just enjoy the moment! Itu saja..

Minggu pagi, acara seru ini pun berakhir. Masing-masing balik ke kota asal. Terserah, masih mau hitchiking atau menumpang kendaraan berbayar. Tidak ada paksaan dari panitia untuk cara pulang :p. Tapi bagi yang masih ketagihan hitchhiking [seperti saya], why not to try this way again? Dan kali ini, mobil bak pun siap mengangkut..

Catatan: Walaupun dulu saya pernah bilang ketagihan hitchhiking, tapi kenyataannya momen itulah satu-satunya hitchhiking gila yang saya lakukan. Bukan karena hitchhiking itu buruk. Bukan. Dalam taraf wajar, saya melihat kalau hitchhiking itu keren dan seru. Tapi saya juga punya prinsip – dalam traveling – sekalipun tipikal backpacker, selagi masih bisa berbagi rezeki dengan warga lokal, saya akan mengusahakan untuk menggunakan moda transportasi berbayar. #sikap

peserta hitchhiking race
peserta hitchhiking race

10 tanggapan untuk “Bandung Night Hitchhiking Race

      1. aku lagi baca buku singgah. penerbit gramedia bukan? euuuuu… kok photo yang diatas sama kayak yang nulis cerpen yang drybagnya hanyut sama menikmati malam sama seekor anjing? dia yang nulis :O *sungkem*

Tinggalkan komentar